Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari’ah dalam Ijtihad 91
URGENSI MAQASHID AL-SYARI’AH DALAM IJTIHAD
Muh. Darwis 1
Abstract: This paper analyzes the urgency maqashid al-Shariah in diligence. To find answers
to these analysis methods used library research. The analysis showed that maqashid al-Shari'ah
has urgency in diligence. Its existence is necessary, not only with regard to the discovery of the
essence of a His commands and prohibitions, but also needed to respond and find the best
Solutions to contemporary problems. In line with this, Umar ibn al-Khattab-for example-have
an important decision to not hold on to the text in relation to charitable giving to charity
mustahik non-Muslims as al-Shari'ah maqashid make a decision foundation ijtihad. To
maintain continuity and dynamism of Islamic law in the contemporary context, al-Shariah
maqashid absolutely necessary
Keyword: Maqashid, Syari’ah, Ijtihad
Abstrak: Tulisan ini menganalisis tentang urgensi maqashid al-syari’ah dalam berijtihad.
Untuk menemukan jawaban atas analisis tersebut digunakan metode library research. Hasil
analisis menunjukkan bahwa maqashid al-syari’ah memiliki urgensi dalam berijtihad.
Eksistensinya sangat diperlukan, tidak hanya berkaitan dengan penemuan esensi sebuah
perintah dan larangan-Nya, tetapi juga diperlukan untuk merespon dan menemukan solusi
terbaik terhadap persoalan-persoalan kontemporer. Sejalan dengan ini, Umar ibn al-Khattab-
misalnya-telah mengambil keputusan penting untuk tidak berpegang pada teks dalam
hubungannya dengan pemberian zakat kepada mustahik zakat-non muslim-karena menjadikan
maqashid al-syari’ah sebagai pondasi keputusan ijtihadnya. Untuk memelihara
kesinambungan dan kedinamisan syariat Islam dalam konteks kekinian, maqashid al-syariah
mutlak diperlukan.
Kata Kunci: Maqashid, Syari’ah, Ijtihad
PENDAHULUAN
Kata maqashid al-syari’ah, dalam pandangan Ahmad Rasyuni, pada mulanya
digunakan oleh al-Hakim. Gagasannya tentang maqashid al-syari’ah dituangkan ke dalam
karyanya-karyanya: ash-shalah wa maqashiduh, al-Haj wa Asraruh, al- ‘Illah, ‘ilal asy-
syari’ah, ‘ilal al- ‘Ubudiyyah, dan al-Furuq. Dalam perkembangan selanjutnya muncul ‘ulama
yang mencurahkan perhatiannya pada kajian tentang maqashid al-syari’ah, seperti Abu Mansur
al-Maturidi (w. 333 H.) yang menulis “Ma’khadz al-Syari ’ah, Abu Bakar al-abhari (w.375 H.)
dengan karyanya seperti “Mas’ alah al- Jawab w a ad-Dala’il wa al ‘Illah”, Al-Baqillani
(w. 403 H.) yang menulis tentang “ al-Taqrib wa al-Irsyadfi Tartib Thuruq al-Ijtihad”. Setelah
itu, semakin bertambah ulama yang membahas tentang tema ini, di antaranya: Al-Juwaini
(w. 478 H.), al-Ghazali (w.505 H.), ar-Razi (w. 606 H.), al-Amidi (w.613 H.), al-Qarafi (w. 648
H.), al-Thufi (w. 7 16 H.), ibn Qayyim al-Jauziy (w. 751 H.). 2
1 Dosen Jurusan Syariah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Palopo
2 Ahmad Raysuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘inda al-lmam asy-Syatibiy, (Beirut: al-Muassasah
al-Jami’iyyah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi, 1992), h.32.
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
92 Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari ’ah dalam Ijtihad
Berbeda dengan Ahmad Rasyuni dan Yusuf al-Badawi, Hamdani al-Ubaydi
menyatakan bahwa orang yang pertama membahas masalah maqashid al-syari’ah adalah salah
seorang tabi’in yang bernama Ibrahim an-Nakhaiy (w. 91 H.). Hammadi al-Ubaydi
menjelaskan bahwa Ibrahim an-Nakhaiy pernah berkata “bahwa sesungguhnya hukum-hukum
Allah memiliki tujuan, hikmah, dan mashlahat untuk manusia”. Sebagai landasan
pemikirannya, Ibrahim mengunakan sejumlah ayat, di antaranya adalah Q.S.
al-Baqarah/2:22. 3
Setelah Ibrahim an-Nakhai, muncul al-Gazali. Dalam karya al-Gazali, ia menawarkan
teori al -Kulliyat al-Khams al-Dharuriyyah yang menjadi dasar dari maqashid al-syari’ah.
Selain itu, ia juga memberikan perhatian secara khusus pada mashlahat pada pembahasan
tesendiri di bawah judul al-lstishlah. Setelah al-Gazali muncul ‘Izz ad-Din ibn ‘Abd.
as-Salam yang membagi hukum dari sisi mashlahat menjadi dua bagian, yaitu ibadah dan
muamalah. Hukum ibadah merupakan hukum-hukum ta’abbudiy yang wajib diamalkan
sebagaimana digariskan tanpa memperhatikan alasan-alasan rsional yang terkandung di
dalamnya. Sedangkan hukum-hukum muamalah boleh jadi ditemukan alasan-alasan
rasionalnya jika akal mampu menemukannya. 4
Selanjutnya Najm ad-Din at-Thufi adalah generasi sesudah ‘Izz ad-Din yang hadir
dengn tawaran rumusan Maqashid al-Syari’ah dengan istilah al-Mashalih al -Syari ’ah , 5 Abd.
Wahab Khallaf menguraikan bahwa istilah yang digunakan oleh at-Thufi berbeda dengan
al-Mashalih al-Mursalah yang digunakan oleh imam Malik. Mashalih mazhab Malikiyyah
digunakan sebagai sumber pengambilan hukum setelah al-Qur’an, Sunnah, ijma, qiyas,
sementara at-Thufi meletakkannya di atas empat sumber tersebut. 6
Analaisis secara spesifik mengenai maqashid al-syari’ah ditulis oleh Asy-Syatibiy
dalam kitabnya al-Muwafaqat pada juz II. Asy-Syatibiy memperluas pembahasannya dengan
tema-tema baru yang dihubungkan langsung dengan al-Qur’an, dan kajiannya tidak ditemukan
pada karya-karya ulama sebelumnya. Tema-tema tersebut di antaranya adalah mashalahat dan
batasan-batasannya, teori qashd (tujuan) dalam perbuatan, niat dalam hukum dan maqashid,
maqashid dan akal, maqashid dan ijtihad, serta tujuan umum dari maqashid:
Rumusan asy-Syatibiy dipandang lebih sistematis dan lengkap jika dibanding dengan
rumusan-rumusan para ulama sebelumnya. Rumusannya dinilai telah mengilhami ulama
sesudahnya seperti Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Abdullah Darraz,
Muhammadat-Thahir ibn Asyur Allal al-Fasi. 8 Muhammad Abduh, adalah orang yang pertama
mengumumkan pentingnya ulama-ulama dan para mahasiswa Timur Tengah untuk
mempelajari karya-karya asy-Syatibiy terutama al-Muwafaqat. 9 Demikian juga dengan
muridnya, Rasyid Ridha, yang tidak hanya terpengaruh olah maqashidnya al-Syatibi, tetapi
juga terpengaruh j ug dengan istihsannya demi menghidupkan kembali harakah salaf iy ah yang
3 Hammadi al-Ubaydi, Asy-Syatibiy wa Maqashid asy-Syari ’ah, ( Mansyurat Kulliyat ad-Da’wah
al-Islamiyyah wa Lajnah al-Huffadz ‘ala at-Turas al-Islami, 1992), h.134-135.
4 ‘Izz ad-Din ibn ‘Abd. Salam, Qawa’id al-Ahkamfi Mashalih al-Anam , (Beirut: Dar al-Jayl, 1980),
h. 73
5 Hammadi al-‘Ubaydi, Asy-Syatibiy..., h. 136.
6 ‘Abd.Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri’ 'al-Islami fi mala Nashsha fiha, (Kairo: Ma’had ad-
Dirasat al-‘Arabiyyah al-‘Aliyah, 1995), h. 87.
7 Hammadi al-‘Ubaydi, Asy-Syatibiy..., h. 137-138.
s Allal al-Fasi, Maqashid asy-Syari ’ah wa Makarimuha, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 45
9 Muhammad Abdullah Darraz dalam pendahuluan al-Muwafaqat. Lihat Abu Ishaq asy-Syatibi,
al-Muwafaqatfi ‘Ushul asy-Syari ’ah, (Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah al-Kubra, t.th.), h. 12
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari’ah dalam Ijtihad 93
sudah lama didiusung oleh Rasyid Ridha. 10 Hal ini juga terjadi pada ibn ‘Asyur, (‘ulama asal
Tunisia) telah menulis sebuah buku yang berjudul Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah,
dengan cakupan pembahasan secara utuh hampir sama dengan aI-Muwafaqat asy-Syatibi.
Tujuan Maqashid al-Syari’ah
Hammadi berpandapat bahwa yang dimaksud dengan maqashid adalah hikmah yang
dituju oleh pemberi syari’at dalam seluruh syari’at. Ia mendasarkan pendapatnya bahwa Allah
swt pasti memiliki “tujuan” tertentu dalam setiap penciptaan-Nya (al-Anbiya 721:61). 11
Maqashid asy-Syari’ah yang dimaksud di sisni adalah maqashid Allah swt. yang membuat
syari’at, bukan tujuan-tujuan manusia. 12 Asy-Syatibi menegaskan bahwa tujuan utama dari
perintah syari’at adalah untuk mengambil mashlahat, baik di dunia, di akhirat, atau keduanya.
Sedangkan tujuan dasar dari larangan adalah mutlak untuk menolak mafsadah dan bahaya. 13
Sejalan dengan asy-Syatibi, Abdullah Darraz dalam pendahuluan aI-Muawafaqat
karya asy-Syatibi, mengemukakan bahwa maqashid pada dasarnya bertujuan untuk menjaga
ketentraman alam dengan cara mewujudkan keberlangsungan kemaslahatan dan
menghilangkan kemafsadatan (j aib al-mshalih wa dar al-mafasid ). 14 Kemaslahatan inilah yang
kemudian dijadikan sebagai dasar pada penetapan maqashid.
Merujuk pada beberapa pandangan di atas dapat dipahami bahwa tujuan maqashid al-
syari’ah adalah untuk terlaksananya hukum-hukum Allah yang menjadi dasar terpeliharanya
kemashlahatan bagi manusia, dan terbebaskannya manusia dari seluruh mafazadah. Dengan
demikian, maka manusia dapat meniti kemashalahatannya di dunia dan di akhirat.
Pembagian Maqashid al-Syari’ah
Maqashid atau maslahat, dalam pandangan asy-Syatibi dibagi ke dalam tiga bagian,
yaitu: 1). al-Mashalih al-dharuriyyah, 2). al-Mashalih al-Hajiyyah, 3). al-Mashalih at-
tahsiniyah . 15 Maslahat yang pertama atau al-Mashalih al-dharuriyyah mengandung beberapa
bagian, yaitu: menjaga agama (. hifz ad-din), menjaga jiwa (, hifz an-nafs ), memelihara akal (. hifz
‘aql), memelihara keturunan ( hifz an-nasl ), dan memelihara harta (hifz al-mal). Kelima al-
mashlahat ini selanjutnya disebut al-kulliyyat al-khamsah , 16 Maqashid ad-Daruriyyah
merupakan sesuatu yang mutlak ada demi kelangsungan hidup manusia. Dalam hubungan ini
pula asy-Syatibi mengemukakan bahwa tujuan awal dari syari’at adalah menegakkan kelima
dasar maqashid ini dan menjaga keberlangsungannya. 17
Hirarki kelima ad-dharuriyyat ini bersifat ijtihadi, bukan naqli. Hal ini berarti bahwa
ia disusun bedasarkan pemahaman para ‘ulama terhadap nash yang diambil dengan cara
istiqra. Dalam merangkai kelimanya, asy-Syatibi terlihat tidak konsisten, namun ia selalu
memposisikan ad-din dan an-nafs di atas tiga yang lainnya (al- ‘aql, an-nasl, al-mal ). 18
Maqashid al-dharuriyyah al-khamzah dipandang sebagai ushul al-din (pokok-pokok
agama). Posisinya berada setingkat di bawah ushul al-aqidah, dan karenanya seluruh rasul
l0 Ridha yang menulis mukaddimah pada kitab ini. Lihat pada pendahuluan Abu Ishaq asy-Syatibiy,
Kitab al-I’tisham, Juz I, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982), h.3-4
"Hammadi al-‘Ubaydi, asy-Syatibi..., h. 119-120
"Asy-Syatibi, al-Muwafaqat..., Juz IV., h. 106
u Ibid., Juz II., h. 8
"Muhammad Abdullah Darraz, Pendahuluan .... h.6
15 Ibn ‘Asyur, Magashid,... h. 76
"Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Mashlahah al-Syari’ah al-Islamiyyah, (Cet.II;
Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1977), h. 119.
l7 Asy-Syatibi, al-Muwafaqat ,... Juz I, h. 13.
ls Ibid, h.38.
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
94 Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari 'ah dalam Ijtihad
diutus untuk kelima pokok ini. Bahkan asy-Syatibi menegaskan bahwa kelimanya adalah ushul
al—din, qawaid al-syari’ah, dan kulliyat al-millah yang tidak terpisah dan jika ada kerusakan
menimpa sebagiannya, maka dapat mengakibatkan kerusakan agama seluruhnya . 19 Oleh
karenanya al-Buthi menegaskan bahwa kelimanya dpat ditemukan pada seluruh hkum syariat,
baik pada akidah, ibadah, muamalah, maupun akhlak. Rukun iman dan Islam disyariatkan
untuk menjaga agama (, hifz al-din), hukum qishas untuk menjaga jiwa ( hifz an-nafz ), hukum
larangan minum yang memabukkan untuk menjaga akal ( hifz al-aql), hukum keluarga untuk
menjaga keturunan ( hifz an-Nasl), dan hukum pencurian untuk menjaga harta (hifz al-mal ). 20
Sejalan dengan al-Buthi, bahkan lebih luas dari itu, Ibn ‘Asyur menjelaskan bahwa
menjaga kelimanya berarti menjaga maslahat individu-individu dan lebih utamanya menjaga
kemaslahatan pada umumnya. Menjaga agama mislanya, berarti menjaga agama setiap orang
muslim dari segala hal yang dapat merusak aqidah dan amal perbuatannya. Sedangkan
menjaga agama seluruh umat berarti menjaganya dari segala hal yang dapat merusak sendi-
sendi agama. Menjaga jiwa berarti menjaga hilangnya nyawa baik individu maupun umat, dan
menjaga jiwa tidaklah sekedar dengan qishas menjaga hilangnya nyawa sebelum terjadi seperti
menghindar dari wabah penyakit sebagaimana tindakan antisipasi yang pernah dilakkan oleh
‘Umar ibn al-Khattab yang melarang pasukannya masuk ke Syam karena ada wabah penyakit
di wilayah tersebut . 21
Demikian pula bahwa menjaga akal berarti menjaga akal seseorang agar tidak masuk
hal-hal yang dapat menyebabkan hilangnya akal. Hilangnya akal bermakna dapat
menyebabkan kehancuran, apalagi hal itu menimpa sekelompok orang dalam dalam jumlah
besar (umat). Inilah tujuan dasar untuk mencegah setiap individu dari mabuk dan mencegah
umat dari peredaran minuman keras, narkotika, dan obat-obatan terlarang. Demikian pula
bahwa menjaga harta berarti menjaga harta umat dari kehilangan, atau berpindah tangan tanpa
ganti. Sedangkan menjaga keturunan berarti bahwa menjaga keturunan berarti menjaga dari
ketiadaan keturunan.
Kelima mashlahat sebagaimana terurai di atas merupakan pokok dakwah ( ushul al-
dakwah ) di Mekkah. Sementara hukum syari’at yang turun di Madinah merupakan penjelasan
hukum-hukum cabang yang merupakan deviasi dari kelima mashlahat tersebut sekaligus
menjadi penegas dan penetap untuk pelaksanan hukum sesuai tuntutan dan bertujuan menjaga
kelimanya dari kehancuran. Oleh karenanya setiap perintah sesungguhnya adalah praktik
penetapan kelima mashlahat tersebut, dan sekaligus untuk memelihara kelimanya dari
kerusakan. Dengan demikian segala sesuatu yang mewujudkan kelima unsur tersebut adalah
mashlahat, dan apapun yang merusaknya disebut mafsadah.
Mashlahah yang kedua adalah al-mashalih al-hajiyyah yaitu sesuatu yang harus ada
untuk memenuhi kebutuhan. Mashlahah ini sebaiknya ada agar dalam melaksanakannya
terdapat keleluasaan dan terhindar dari kesulitan. Apabila ini tidak ada, sebetulnya ia tidak
menimbulkan kerusakan atau kematian, tetapi akan menimbulkan masyaqqah dan kesempitan,
misalnya hukum jual beli, pinjam meminjam, pernikahan, dan bentuk-bentuk mashlahah
lainnya. Al-mashalih al-hajiyyah berada setingkat di bawah al-mashalih al-dharuriy
karena ia merupakan turunan dari al-mashalih al-dharuriy dan berfungsi untuk mewujudkan
tujan -tujuan al-mashalih al-dharuriy. Hukum perkawinan mislanya berfungsi untuk
mewujudkan hifdz an-nasl.
Al-mashalih al-hajiyyah juga mencakup keingina dan kemudahan-kemudahan yang
diberikan oleh Allah swt. Hal ini bertujuan agar mukallaf tidak mendapatkan kesulitan dalam
menjalankan segala hal yang dibebankan kepadanya. Oleh karena itu, sesorang diperbolehkan
l9 Ibid., Juz II, h. 38.
20 Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Op.Cit., h. 119-120.
21 Ibn ‘Asyur, Mctgashid, ...h.78.
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari’ah dalam Ijtihad 95
untuk tayammum ketika tidak ada air, kebolehan berbuka puasa ramadhan, dan meringkas
shalat ketika bepergian agar dapat tetap menjaga agama sesuai kemampuan yang ada . 22
Mashlahat ketiga adalah al-mashlahah al-tahsiniyyah, yaitu seuatu yang sebaiknya
ada demi sesuainya dengan akhlak yang baik atau adat istiadat yang berlaku. Jika al-
mashlahah ini tidak ada, maka tidak akan menimbulkan kerusakan atau hilangnya sesuatu, juga
tidak akan menimbulkan masyaqqah dalam melaksanakannya. Hanya saja seseorang akan
dinilai tidak panatas dan tidak layak berdasrka ukuran tata krama dan kesopanan . 23 Untuk
konkretnya diangkat beberapa contoh, larangan untuk boros, pelit, kesamaan dalam memilih
pasangan hidup (kafa’ah), etika makan, menutup aurat, dan seluruh yang berkaitan dengan
etika, dan akhlak.
Selanjutnya, Asy-Syatibi menkonstruksi struktur ketiga maqashid asy-syari’ah ke
dalam dua pola utama, yaitu maqashid ashliyyah (asli/utama/pokok) dan maqashid tabi’ah
(pengikut) atau mukammilah (penyempurna). Tujuan utama dari pernikahan adalah menjaga
kelangsungan keturunan dan meramaikan dunia. Sementara tujuan penyempurnanya adalah
memperoleh kebahagiaan dan kasih sayang dengan berpasangan dan memperoleh keturunan.
Oleh karenanya peran al-maqashid mukammilah adalah untuk menetapkan maksud yang utama
yang tekandung pada maqashid itu sendiri . 24
Cara Mengetahui Maqashid al-Syari’ah
Dalam hubunganya dengan pengetahuan manusia tentang hukum-hukum Allah swt.,
dapat dipilah ke dalam dua bagian, yaitu: Pertama, hukum yang tidak dapat dicerna oleh akal
(ta’abbudi), Kedua, hukum yang dapat dicerna oleh akal (ta’aqquli). Hukum-hukum yang
dapat dicerna oleh akal adalah hukum yang dikaitkan dengan maqashid. Apabila suatu hukum
dapat ditemukan Ulatnya (alasan), maka mashlahat yang ditemukan menunjukkan bahwa itulah
yang menjadi tujuan berlakunya suatu hukum. Meskipun demikian, hukum-hukum yang dapat
dicerna oleh akal tujuannya tidaklah serta merta ditemukan maksud dan tujuan yang
sesungguhnya, misalnya hukuman bagi pezina. Pertanyaannya adalah mengapa hukuman bagi
pezina harus dirajam seratus kali sampai meninggal, tidak menggunakan hukuman mati dalam
bentuk yang lain, demikian juga bentuk hukum-hukum Allah yang lain.
Dalam hubungannya dengan maqashid al-syariah, ibn ‘Asyur mengemukakan bahwa
seseorang dapat mengetahuinya melalui tiga cara, yaitu: pertama, dari teks suatu perintah dan
larangan, kedua, melalui ‘illat yang tekandung di dalam suatu perintah dan larangan, dan
ketiga, menyerahkan sepenuhnya maqashid kepada Allah swt karena tidak ditemukan dari teks
ataupun ‘illatnya . 25
Dalam hubungannya dengan cara pertama (dari teks suci), seseorang dapat
mengenalnya dengan jelas bahwa teks tersebut mengandung perintah dan larangan.
Pemahaman dari teks suci, baik yang mengandung perintah maupun yang mengandung
larangan akan melahirkan ketundukan kepada Allah swt. Sejalan dengan pola teks suci,
Wahbah al-Zuhaili, ‘Ali Hasballah, dan Zaki al-Din Sya’ban, sebagaimana dikutip oleh Nasrun
Rusli, mengklasifikasi ke dalam empat bagian, yaitu: a). Penempatan suatu lafaz terhadap
suatu makna, b). Penerapan suatu lafaz terhadap suatu makna, c). Petunjuk lafaz atas
maknanya dalam hal kejelasan dan ketersembunyiannya, dan d). Cara pengungkapan kalimat
dalam kaitannya dengan makna yang dikandung dalam kalimat tersebut . 26
“Asy-Syatibi, Al-Muwafaqat,.. Juz IV, h. 29
23 Ibn Asyur, Op.Cit., h. 81
24 Asy-Syatibi, Op.Cit., Juz II, h. 396
25 Selengkapnya lihat ‘Ibn Asyur, Op.Cit., h. 18-20.
26 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam di
Indonesia, (Cet.I; Jakarta: Logos, 1999), h.31-40.
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
96 Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari ’ah dalam Ijtihad
Pendekatan melalui cara penempatan suatu lafaz terhadap suatu makna (bi i’tibar al-
lafz li al-ma ’na) berarti ada satu lafaz yang ditempatkan untuk menunjukkan makna tertentu
(khas h) dan ada juga satu lafaz yan ditempatkan untuk menunjukkan makna umum ( ‘ani), dan
ada juga yang ditempatkan dengan mengacu pada dua makna atau lebih ( musytarak ).
Pada penerapan suatu lafaz terhadap suatu makna (bi i’tibar isti’mal al-lafz fi
al-ma’na ) bermakna bahwa ada satu lafaz yang digunakan untuk menunjuk kepada
pengertiannya yang asali ( al-haqiqah ) dan ada juga yang digunakan untuk menunjuk kepada
pengertian lain ( majaz ), demikian juga ada lafaz yang samar maksudnya, maknanya baru
diketahui karena ada indikasi lain yang membantu untuk mengetahui maknanya, lafaz ini
dikenal dengan kinayah.
Sementara petunjuk lafaz dari segi kejelasan maknanya berarti lafaz tersebut tidak
lagi memerlukan lafaz lain utnuk memahani maknanya ( wadliih al-dalalah). Sedangkan lafaz
dari segi ketersembunyian maknannya baru diketahui kejelasan maknanya setelah ada lafaz
lain yang membantu untuk menjelaskannya ( khafi al-dalalah ). Berkenaan dengan lafaz yang
petunjuk maknanya jelas, menurut ulama Hanafiyyah, ada empat, yaitu: a) al-Zahir, b) al-
Nash, c) al-mufasar, dan al-muhkam. Berbeda dengan ulama Hanafiyyah, ulama Syafi’iyyah
membaginya ke dalam dua bentuk, yaitu: a) al-Zahir (masih memungkinkan menerima takwil,
b) al-Nash (tidak menerima takwil). Sedangkan lafaz yang petunjuknya tidak jelas, ulama
Hanafiyyah membaginya ke dalam empat bagian, yaitu: a) al-Khafi’ b) al-Musykil, c) al-
Mujmal dan d) al-Mutasyabih. 21
Terakhir, pengungkapan kalimat dalam kaitannya dengan makna yang yang
dikandung oleh kalimat tersebut, ulama Hanafiyyah membaginya menjadi empat bagian, yaitu:
a) ibarah al-nas (secara eksplisit maknanya ditunjuk oleh teks), b) isyarah al-nash
(secara implisit teks mengisyaratkan kepada suatu makna lain yang telah lazim bagi teks
tersebut), c) dalalah al-nash ( petunjuk teks tidak hanya mengacu pada sesuatu yang terucap,
tetapi juga tersirat di dalamnya karena terdapat kesamaan ‘illat., d) dalalah al-iqtidha (teks
menghendaki makna implisit yang dikehendaki oleh syarak atau akal ). 28
Maqashid al-Syari’ah dan Ijtihad
Mengingat betapa pentingnya mengetahui maqashid asy-syari ’ah yang dapat
menjelaskan hikmah, tujuan atau alasan yang sesungguhnya dari sebuah hukum, wajar kiranya
jika ulama berpendapat bahwa maqashid asy-syari ’ah merupakan inti dari fiqhi. Oleh karena
pengetahuan terhadap maqashid menjadi suatu keharusan dibanding mengetahui ushul fiqhi.
Pada prinsipnya mengetahui maqashid asy-syari ’ah berarti memahami agama dan mengetahui
aturan syari ’at.
Dalam hubungannya maqashid asy-asyari’ah dengan ijtihad, Asy-Syatibi berpendapat
bahwa apabila seseorang hendak berijtihad, maka hendaklah berpegang pada maqashid asy-
syari ’ah. Lebih jauh dia berpendapat bahwa mengetahui maqashid asy-syari ’ah lebih utama
dibanding menguasasi bahasa arab bagi sesorang yang ingin berijtihad dari teks arab yang
sudah diterjemahkan ke dalam bahasa orang yang akan berijtihad . 29 Salah satu manifestasi dari
pandangan ini adalah tentang nikah mut’ ah dan nikah tahlil, dan kedua model pernikahan ini
adalah bersifat temporer atau sementara. Sejalan dengan ini, modelnya tidak perlu dipersoalkan
karena maqashid dari suatu perkawinan adalah kesinambungan dan kasih sayang dalam
kelanggenan . 30
27 Ibid., h. 39
2S Ibid., h.40
29 Hammadi al-‘Ubaydi, Asy-Syatibi,. ..h. 183.
30 Ibid.
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari’ah dalam Ijtihad 97
Memahami maqashid asy-syari’ah berarti membuka pintu cakrawala ijtihad karena ia
meupakan temuan syari’at yang sesungguhnya. Dengan maqashid asy-syari’ah dapat diketahui
apa yang termasuk taat, maksiat, rukun, dan sunat. Karena itu, seyogyanya jika seseorang ingin
berijtihad tidak boleh hnya terpaku pada pendekatan kebahasan, tetapi perlu bergeser pada
pendekatan maqashid al -syari’ah.
Manhaj berijtihad dengan Maqashid al-Syari’ah
Dalam menemukan qashd al-syar’i yang terkandung di dalam teks-teks suci dengan
pendekatan bahasa menitikberatkan pada pendalaman kaidah-kaidah kebahasaan, sedangkan
pendekatan maqashid al-syaria ’ah lebih menfokuskan diri pada nlai-nilai berupa
kemashlahatan manusia dalm setiap taklif yang diturunkan oleh Allah. Pendekatan seperti ini
perlu dilakukan, karena ayat-ayat hukum dalam al-Qur’an terbatas jumlahnya sementara
permasalahan masyarakat semakin kompleks. Dalam menghadapi beragam persoalan yang
muncul, melalui pngetahuan tentang tujuan hukum, maka pengembangan hukum dapat
dilakukan.
Pendekatan maqashid al-syari’ah dalam berijtihad guna menemukan kandungan
hukum sebetulnya telah ditunjukkan oleh Nabi saw., melalui antara lain, larangan Nabi saw.
supaya tidak menympan daging kurban kecuali dalam batas tertentu, yaitu bekal untuk tiga
hari. Namun, dalam beberapa tahun setalhnya, larangan ini tidak dipatuhi oleh beberapa
sahabat Nabi saw. Peristiwa tersebut dilaporkan kepada Nabi saw., dan Nabi saw.
membenarkan tindakan sahabat, lalu Nabi saw. menjelaskan bahwa larangan menyimpan
daging qurban didasarkan atas kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri atas orang-orang
miskin yang datang dari perkampungan sekitar Madinah). Setelah itu Nab saw berabda:
“Sekarang simpanlah daging-daging korban itu, karena tidak ada lagi tamu yang
membuthkannya ”. 31
Dari peristiwa tesebut dapat dipahami bahwa adanya larangan menyimpan daging
kurban diharapkan tujuan syari’at dapat dicapai, yaitu melapangkan kaum miskin yang datang
dari pinggiran kota Madinah. Setelah alasan pelarangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan
itupu dihapus oleh Nabi saw.
Merujuk pada ketetapan Nabi saw. telah menguatkan pemahaman bahwa pada masa
Nabi saw., maqashid al-syari’ah telah menjadi pertimbangan sebagai landasan dalam
menetapkan hukum. Perbuatan Nabi saw. diteruskan oleh sahabatnya, misalnya keputusan
Umar ibn al-Khattab untuk tidak memberikan bagian zakat kepada kelompok non-muslim.
Pertimbangan keputusan hukum Umar yang dianggap bergeser dari teks al-Qur’an didasarkan
pada sebuah realitas bahwa kelompok muallafah qulubuhum (orang-orang yang dijinakkan
hatinya) tidak dapat dipersamakan kondisinya pada masa Nabi saw. karena umat Islam (pada
masa Umar) telah berada pada posisi yang kuat.
Kontra produktif konsep dan keputusan hukum Umar ibn al-Khattab tersebut dipahami
sebagai kemampuan Umar ibn Khattab menangkap esensi yang terkandung di dalam hukum
Allah swt. Karena itu, kelompok itu bukan lagi dalam kelompok mustahiq sebagaimana
termaktub di dalam Q.S.al-Taubah/9:60 sebagai muallafah qulubuhum karena ‘illahnya tidak
lagi melekat padanya sehingga kandungan ayat tidak dapat diimplementasikan kepada mereka.
Sekali lagi pemahaman Umar ibn al-Khattab erat kaitannya dengan pendekatan maqashid al-
syari ’ah dalam mengistimbatkan hukum.
Maqashid al-Syari ’ah secara subtansial mengandung dua kemaslahatan, yaitu
Pertama, maqashid al-syari’ (tujuan pembuat hukum, Allah), Kedua, maqashid mukallaf
(tujuan mukallaf). Ditinjau dari perspektif tujuan Allah maqashid mengandung empat aspek,
yaitu: (1) tujuan awal dari Syari’ menetapkan syari’at yaitu kemashalahatan manusia di dunia
31 Lihat Malik ibn Anas, al-Muwaththa, ed. Muhammad Fu’ad ‘Abd.l-Baqi, (t.tp. : t.p., t.th.), h. 299
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
98 Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syah 'ah dalam Ijtihad
dan akhirat, (2) penetapan syari’at sebagai sesuatu yang harus dipahami, (3) penetapan syari’at
sebagai hukum taklifi yang harus dilaksanakan, (4) penetapan syari’at guna membawa manusia
ke bawah lindungan hukum. 32 Selanjutnya tujuan syariat dari perspektif tujuan mukallaf yaitu
agar setiap mukallaf mematuhi keempat tujuan syariat yang digariskan oleh syari’ sehingga
tercapai tujuan syariat yaitu kemashalahatan manusia, meliputi dunia dan akhirat.
Dalam hubungannya dengan ijtihad, ‘Abdullah Darraz berpandangan bahwa ijtihad
pada hakikatnya merupakan upaya untuk mengetahui dan mendapatkan hukum syarah secara
optimal. Upaya demikian akan berhasil apabila seorang mujtahid dapat memahami magashid
al-syari’ah. Untuk itu, al-Syatibi menempatkan magashid al-syari’ah sebagai syarat utama
dalam berijtihad. 33 Apabila seorang mujtahid akan melakukan ijtihad dengan menggunakan
magashid al-syari’ah maka perlu mengikuti tiga pola, yaitu: Pertama, mencari magashid di
dalam perintah atau larangan itu sendiri. Jika suatu perintah menuntut adanya suatu perbuatan,
maka perbuatan itu menjadi magashidnya, demikian juga halnya suatu perintah untuk
meninggalkan suatu larangan, maka itulah yang menjadi magashidnya. Mujtahid tidak perlu
lagi mencari magashid al-syari’ah dibalik perbuatan tersebut karena telah ditemukan secara
jelas dari perintah dan larangan, dan tujuan utamanya adalah melaksanakan perintah-Nya dan
menjauhi larangan-Nya. Model maqashid seperti dapat ditemukan pada hukum yang bersifat
ta ’abbudiy. Kedua, berpegang pada ‘Ulat hukum. Langkah ini ditempuh apabila perintah dan
larangan tidak secara jelas disebutkan. Dalam posisi ini, mujtahid berpegang teguh pada ‘Ulat
hukum dengan cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai alasan-alasan yang
mendasari adanya suatu hukum. Sebagai contoh, mengapa Allah swt.memeritahkan
perkawinan? Salah satu jawabannya adalah untuk melihara kelangsungan keturunan. Demikian
juga halnya bahwa munculnya larangan Nabi saw. memutus perkara dalam kondisi marah
karena pada hakekatnya terjadi kekacauan pikiran. Ketiga, berhenti berijtihad ( tawagguf )
hingga telah jelas magashid al-syari’ah. Apabila seorang mujtahid tidak dapat menemukan
magashid al -syari ’ahnya baik dalam hukum itu sendiri maupun dalam Ulatnya, maka mujtahid
harus berhenti dan melanjutkan ijtihadnya sampai benar-benar jelas magashid al-syari ’ahnya.
Sejalan dengan ini, al-Syaukani juga menekankan pentingnya pengetahuan magashid
al-syari ’ah bagi mujtahid. Seorang mujtahid-menurutnya-yang berhenti pada teks atau hanya
melakukan pendekatan lafsiyah (tekstual) dan terikat pada nash yang juz’i serta mengabaikan
maksud-maksud terdalam dari pensyari’atan hukum, maka ia akan terjerumus pada kesalahan -
kealahan dalam berijtihad. 34
Dengan demikian melalui pemahaman magashid al-syari’ah, ijtihad dapat
dikembangkan terutama dalam menghadapi dan menyelesaikan beragam persoalan
kontemporer yang tidak diuraikan oleh al-Qur’an. Melalui jalan ini hukum Islam akan tetap
dinamis dalam merespon berbagai penomena sosial yang terus berkembang seirama dengan
perkembangan masyarakat.
PENUTUP
Berpegang teguh pada teks suci al-Qur’an merupakan sebuah keharusan. Namun
seorang mujtahid tidak boleh terpaku pada satu metodologi saja tetapi perlu menganut metode
lain dalam berijtihad. Magashid al-Syari ’ah merupakan salah satu pilhan metode dalam
memahami esensi perintah dan larangan-Nya untuk diimplementasikan guna meraih
kemashlahatan di dunia dan di akhirat.
Secara faktual, keputusan Nabi saw. melarang sahabat menyimpan daging kurban,
kecuali dalam batas tertentu untuk kebutuhan dalam masa tiga hari. Larangan tersebut didasari
3 ~Asy-Syatibi, al-Muwafaqat .... Juz II, h. 3-4
33 Ibid., Juz IV., h. 76
34 Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ‘ila Tahqiq min ‘ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 258.
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014
Muh. Darwis: Urgensi Maqashid al Syari’ah dalam Ijtihad 99
oleh pertimbangan kepentingan al-daffah (tamu yang terdiri dari orang-orang miskin yang
datang dari perkampungan sekitar Madinah). Larangan tersebut pada hakikatnya betujuan agar
tujuan syari’at dapat dicapai, yaitu melapangkan orang-orang miskin yang datang dari
perkampungan sekitar Madinah. Setelah alasan larangan tersebut tidak ada lagi, maka larangan
itu dihapus oleh Nabi saw. Demikian pula, keputusan ijtihad Umar ibn al-Khattab tidak
memberikan zakat kepada kelompok non muslim sebagai mustahiq karena secara obyektif
kondisi umat Islam telah kuat pada masanya, berbeda dengan pada masa Nabi saw., masih
perlu dijinakkan hatinya agar tetap memeluk Islam. Dari sini dapat ditarik suatu pemahaman
bahwa Umar ibn al-Khattab telah menjadikan maqashid al-syari’ah sebagai dasar
keputuasannya.
Metodologi yang ditempuh oleh Umar al-Khattab menjadi dasar bagi generasi
sesudahnya dalam menggali hukum-hukum yang terkandung di dalam al-Qur’an. Urgensi
Maqashid al-syari’ah dalam berijtihad semakin kuat, tidak hanya untuk memahami maqashid
syarV (maksud Allah), tetapi juga menjadi solutif terhadap problem-problem kontemporer
sehingga dapat mengimplementasikan hukum-hukumNya guna memperoleh kemashlahatan di
dunia dan di akhirat.
KEPUSTAKAAN
Abd.Wahhab al-Khallaf, Mashadir at-Tasyri ’al-Islami fi Mala Nashsha fiha, Kairo: Ma’had
ad-Dirasat al-‘Arabiyyah al-‘Aliyah, 1995.
Abu Ishaq asy-Syatibi, al-Muwafaqal fi ‘Ushul asy-Syari’ah, Mesir: al-Maktabah at-Tijariyyah
al-Kubra, t.th.
Abu Ishaq asy-Syatibiy, Kitab al-I’tisham, Juz I, Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1982.
Ahmad Raysuni, Nadhariyyat al-Maqashid ‘inda al-Imam asy-Syatibiy, Beirut: al-Muassasah
al-Jami’iyyah li ad-Dirasat wa an-Nasyr wa at-Tauzi, 1992.
Allal al-Fasi, Maqashid asy-Syari ’ah wa Makarimuha, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ‘ila Tahqiq min ‘ilm al-Ushul, Beirut: Dar al-Fikr, t.th.
Hammadi al-Ubaydi, Asy-Syatibiy wa Maqashid asy-Syari ’ah, Mansyurat Kulliyat ad-Da’wah
al-Islamiyyah wa Lajnah al-Huffadz ‘ala at-Turas al -Islami, 1992.
Izz ad-Din ibn ‘Abd. Salam, Qawa ’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Beirut: Dar al-Jayl,
1980.
Malik ibn Anas, al-Muwaththa, ed.Muhammad Fu’ad ‘Abd.l-Baqi, t.tp.: t.p., t.th.
Muhammad Said Ramadhan al-Buthi, Dhawabith al-Mashlahah al-Syari’ah al-Islamiyyah,
Cet.II; Beirut: Muassasah ar-Risalah, 1977.
Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaharuan Hukum Islam
di Indonesia, Cet.I; Jakarta: Logos, 1999.
Jurnal Al Ahkam Volume IV, No. 2 Agustus 2014